Oleh: Hermawan
_______________
* Penulis adalah mahasiswa PGSD FKIP Univesitas
Jember, yang sedang menempuh mata kuliah Pendidikan Multikultural Kelas A.
Korespondensi: Jl. Jawa II Nomor 12 Sumbersari, Jember, Jawa Timur. No. HP :
085736625501. Email: chelseahermawan@yahoo.co.id
ABSTRAK
Ada sebagian
masyarakat Ponorogo tepatnya kalangan
warok yang sampai sekarang masih eksis dalam tradisi perilaku ritualnya dalam
upaya untuk mempertahankan jati diri ketimuran sekaligus untuk mempertahankan
daya mistik mereka. Munculnya perilaku ritual ini sebagai respon positif
terhadap tantangan global yang semakin menggerus budaya lokal. Terdapat
kemiripan dalam terminologi antara warok
Ponorogo dengan wara’ (literatur mistik islam), dalam istilah wara’ yaitu
menjauhkan diri dari segala sesuatu yang mengandung sesuatu yang belum
diketahui hukumnya, wara’ adalah status sosial bagi seorang yang menempuh jalan
sufi, status tersebut secara berurutan yaitu taubat, wara, zuhud, tawakal,
sabar, dan kerelaan, sedangkan warok dalam terminologi budaya Ponorogo adalah
sebuah nama yang sekaligus simbol dari kelas dan status sosial yang tinggi di
kalangan masyarakat, beberapa ajaran warok yang dijunjung tinggi disebut dengan
sembilan kautaman. Untuk mempertahankan daya mistik warok pada tahap awal
dimulai dengan mensucikan diri dengan tiga patrap (aktivitas) yaitu sucining
suwara, sucining tenogo, dan sucining roso. Selajutnya setelah melakukan tiga
patrap diatas tahap berikutnya adalah melakukan tirakat (usaha) dengan
mengurangi makan, mengurangi tidur dan mencegah syahwat, bersamaan dengan usaha
ini mereka juga harus meninggalkan sirikan (pantangan) yaitu molimo (maling,
madat, main, minum, madon) dan ditambah dua macam yaitu madani dan mateni. Selanjutnya
mereka harus melakukan puasa, ada
sembilan macam puasa di kalangan warok yaitu puasa ngrowot, puasa ngidang,
puasa mendem, puasa pate geni, puasa mutih, puasa ngalong, puasa ngasrep, puasa
ngepel, dan puasa ngebleng.
Kata kunci : Perilaku ritual, Warok
ABSTRACT
There are some people among
warok Ponorogo precisely that still exist in the tradition of ritual behavior
in an attempt to maintain the identity of eastern as well as to maintain their
mystique. The emergence of this ritual behavior as a positive response to the
global challenges that increasingly erode local cultures. There are
similarities in terminology between warok Ponorogo with wara’ (mystical
literature of Islam), in terms of wara' that keep away from anything that
contains something unknown law, wara' is a social status for the one who took
the sufi path, that status sequentially namely repentance, wara, ascetic,
trust, patience, and willingness, whereas in terms of culture warok Ponorogo is
a name and a symbol of class and high social status in the community, some of
the teachings upheld warok called nine kautaman. To maintain the mystique warok
at an early stage begins with purify themselves with three patrap (activity) is
sucining suwara, sucining tenogo, and sucining roso. Following that after three
patrap on the next stage is to do penance (effort) by eating less, reducing
sleep and prevent impotence, in conjunction with this effort they have to leave
sirikan (abstinence) is molimo (maling, madat, main, minum, madon) and plus two
kinds of madani and mateni. Furthermore, they should do fasting, there are nine
kinds of fasting among warok namely ngrowot fasting, fasting ngidang, mendem
fasting, fasting pate geni, mutih fasting, fasting ngalong, fasting ngasrep,
ngepel fasting, and fasting ngebleng.
Keywords: Behavior
ritual, Warok
Pendahuluan
Keragaman budaya yang
dimiliki oleh bangsa Indonesia bukan hanya sebagai koleksi semata, namun
merupakan hasil jerih payah dari ide, gagasan dan norma-norma dalam suatu
kelompok masyarakat. Untuk memahami kebudayaan Indonesia menurut Koentjaraningrat
(Sutarno 2008: 1.8) mengungkapkan bahwa
kebudayaan meliputi tiga wujud yaitu wujud idiil (adat tata kelakuan) yang
bersifat abstrak, wujud sistem sosial mengenai kelakuan berpola dari manusia
itu sendiri, dan wujud kebudayaan fisik yang bersifat paling konkrit.
Seperti daerah yang lain, kabupaten
Ponorogo memiliki budaya yang menjadi faktor dominan dalam kehidupan
masyarakat. Adat istiadat dan norma yang ada di dalamnya merupakan suatu
pedoman masyarakat dalam berinteraksi dengan sesamanya. Seiring dengan semakin
berkembangnya era globalisasi yang tidak dapat terhindarkan lagi, maka ada
sebagian masyarakat yang menyimpulkan bahwa salah satu cara untuk
mempertahankan jati diri budaya ketimuran adalah dengan menggali nilai-nilai
tradisional untuk dijadikan tiang penyangganya. Salah satu budaya tradisional
masyarakat Ponorogo yang sampai sekarang masih eksis adalah adanya perilaku
ritual warok. Munculnya perilaku ritual ini sebagai respon positif terhadap tantangan
kehidupan modern yang semakin lama semakin mengancam tradisi dan budaya lokal
khususnya di kabupaten Ponorogo. Perilaku ritual yang dilaksanakan kalangan
warok ini diwarnai oleh masih banyak ajaran-ajaran dari luar Islam walaupun
juga terdapat praktek dzikir, wirid dan kontempelasi di dalamnya, karena
setelah dilaksanakan babad Ponorogo pada tahun 1846 M oleh orang-orang Demak
utusan Raden Patah di Ponorogo terjadi akulturasi budaya ajaran Hindu, Budha
dan Islam.
Warok dalam istilah budaya
Ponorogo memiliki arti sama dengan weruk yang artinya besar sekali. Besar
disini memiliki arti kiasan bukan arti yang sebenarnya. Seseorang dapat disebut
sebagai warok jika ia sudah besar sekali wibawanya dan besar sekali
kedudukannya dalam masyarakat. Sebagaimana kerohanian Jawa pada umumnya,
perilaku ritual warok Ponorogo merupakan pembauran dari berbagai unsur
kebudayaan Hindu Budha dan Islam. Akan tetapi perilaku ritual warok ini
menekankan aspek hidup yang ideal, unsur terpenting dari ajaran warok ini
adalah konsep Mangeran Gesang yaitu
hidup seperti Tuhan dalam skala kecil, karena menurut mereka pada
dasarnya manusia ada karena adanya Tuhan Yang Maha Kuasa, ia akan Mangeran
Gesang dan memiliki pengalaman-pengalaman batin dan kejadian yang luar
biasa baik berupa daya kekuatan lahir (kadegdayan) maupun ketajaman mata
batin (kawaskitan). Selanjutnya orang yang telah memiliki dua kesempatan
ini berhak menyandang gelar warok, sehingga seorang tokoh yang telah disebut
warok Ponorogo adalah orang yang harus benar-benar mampu diandalkan secara
fisik maupun mentalnya.
Perilaku ritual warok masih
banyak dilakukan baik oleh para pemuda maupun orang tua. Mereka bukan hanya
putra-putra warok saja tetapi banyak yang datang dari luar kota Ponorogo. Pada
umumnya mereka berguru di padepokan seseorang atau beberapa orang warok tua
yang masih ada, sebab warok-warok muda belum merasa cukup umur untuk menjadi
guru untuk mengajarkan ilmu yang mereka miliki. Di padepokan itu mereka tinggal
mempelajari dan memparaktekkan perilaku ritual (tirakat) ajaran-ajaran
mistik (lakon) mulai dari puasa, mati raga (zuhud) dan mendekatkan diri
kepada Tuhan Yang Maha Kuasa untuk mencapai tingkatan Jumbuhing Kawula Gusti.
Berdasarkan latar belakang
diatas maka dapat diambil suatu rumusan masalah yaitu apa sajakah nilai-nilai
tradisional dalam ritual warok Pononorogo yang dapat untuk mempertahankan jati
diri budaya Indonesia?
Pembahasan
1. Profil Warok Ponorogo
Masyarakat Ponorogo seperti masyarakat lain di
Indonesia yang memiliki karakter dan budaya lokal yang harus dipertahankan,
salah satu ciri khas masyarakat Ponorogo adalah dengan budaya reog dan tokoh
waroknya, jika seseorang mengenal tentang warok Ponorogo maka sebenarnya ia
sudah mulai mengenal sebagian dari ciri khas Ponorogo, identitas warok biasanya
hanya dikenal pada pakaian saja. Pakaian ini adalah pakaian khas dari Ponorogo.
Dalam pengertian sehari-hari kata warok sama dengan weruk artinya besar sekali.
Dalam literatur mistik Islam dikenal istilah wara’ yaitu menjauhkan diri dari segala sesuatu yang belum
diketahui hukumnya yang menyebabkan seseorang terjerumus kepada sesuatu yang
haram, wara’ adalah status sosial
bagi seorang yang menempuh jalan mistik islam, status tersebut secara
berurutan, taubat, wara’, zuhud,
tawakal, sabar, dan kerelaan.
Dalam istilah budaya Ponorogo warok dibedakan menjadi
tiga, warok, warokan dan warok muda. Warok adalah seorang pemimpin yang
membawahi warokan dan warok muda jadi warokan dan warok muda berada dibawah
tingkat warok. Sedangkan warokan adalah terdiri dari pemuda-pemuda jagoan pada
grup kesenian Reog, warokan menjadi pemain ganongan atau yang memainkan
barongan.
Seseorang disebut warok jika sudah memiliki wibawa
yang besar dan kedudukan yang tinggi dalam masyarakat. Warok disegani dan
dihormati, gambaran nyata dari seorang warok adalah diwujudkan dalam bentuk
perawakan besar, berkumis, berjanggut panjang. Pada pipi dan dada tumbuh
bulu-bulu hitam, menurut kepercayaan, hitam mengandung makna keteguhan
sedangkan lambang kesucian budi, ilmu dan tingkah laku berupa koloran dan
usus-usus yang berwarna putih, panjang dan terurai ujungnya. Dari sini akhirnya
didapat pengertian bahwa manusia itu perlu sekali dikuatkan dengan kesucian
budi, ilmu dan tingkah laku.
2. Perilaku Ritual Warok
Terkadang kita berfikir bahwa tindakan yang dilakukan
orang lain tidak
masuk akal, ada yang tidak dapat kita mengerti bahkan cenderung aneh,
namun pada hakikatnya suatu tindakan menjadi berarti apabila individu tersebut menjelaskan alasan tentang bagaimana tindakan
yang dilakukannya. Seharusnya kita harus memiliki kemampuan untuk berempati atau
kemampuan untuk menempatkan diri dalam kerangka berpikir orang lain
yang perilakunya dijelaskan dan
situasi serta tujuan-tujuan yang ingin dilihat menurut perspektif tersebut.
Jadi kita akan
bisa memahami perilaku
seseorang termasuk perilaku
dengan benar manakala kita dapat
berempati dan menempatkan kerangka pikir
kita seperti apa yang ada dalam pikiran mereka. Warok Ponorogo memiliki
ritual khusus ketika mereka hendak mempertahankan
daya mistik mereka atau bagi warok-warok muda yang ingin mendalami ilmu, mereka
harus melakukan sembilan macam keutamaan dilanjutkan dengan melakukan
pensucian diri yang meliputi tiga hal yaitu kesucian suara, kesucian tenaga,
dan kesucian rasa. Kesucian suara terletak pada manusia yang telah menguasai ilmu
yang sempurna, ilmu yang sempurna adalah perkataan dan ucapan yang tidak
meresahkan orang lain yang mendengar. Kesucian tenaga terletak pada manusia
yang telah memeluk agama sempurna, yaitu jika amal perbuatannya tidak merugikan
orang lain yang melihatnya. Kesucian rasa terdapat pada manusia yang telah
menguasai pengetahuan yang sempurna, yaitu perasaan yang tidak menyakitkan
perasaan orang lain.
Kriteria seseorang
yang berstatus sebagai seorang warok dapat dikelompokkan menjadi dua. Pertama,
warok memiliki tipologi dan profil, berpakaian khas Ponorogo (Penadon) dengan
warna khas baju hitam celana hitam, beserta atribut-atribut sebagai
pelengkapnya. warok mempunyai wibawa, disegani dan dihormati oleh masyarakat.
Selain itu warok juga sebagai pemimpin sekaligus pemain barongan yang mengerti
arti hidup dan kehidupan. Dilihat dari tataran ilmu, warok adalah figur yang
kebak ilmu, artinya menguasai ilmu baik lahir maupun batin. Selain itu, warok
juga memiliki ilmu kesaktian dan ilmu kekebalan badan. Kedua, jalan (lelaku)
yang harus ditempuh seseorang untuk mencapai warok terlebih dahulu harus bisa
memenuhi 9 (sembilan) syarat pokok, yaitu: berhati bersih dan berpikir positif,
sopan santun, jujur, tidak berkata kotor dan berhati-hati, mengurangi keinginan
nafsu, berjiwa perwira, adil, bijaksana dan tidak membeda-bedakan, suka
menolong tanpa pamrih, sabar, tidak sombong.
Perilaku warok yang
menggambarkan nilai-nilai moral di masyarakat antara lain diekspresikan dengan
Hasta Brata (delapan laku kepemimpinan), bergaya hidup sederhana yang tidak
memikirkan kepentingan duniawi dan selalu mengutamakan kepentingan masyarakat
disamping kepentingannya sendiri. Selain itu warok selalu bersikap jujur, sopan
santun dan berhati-hati dalam berucap dan bertingkah laku, berani membela
kebenaran, tidak sombong, rendah hati, selalu berfikir jernih dan berani
bertanggung jawab.
Peranan warok dalam mewariskan
nilai moral dan budaya bagi masyarakat di kabupaten Ponorogo yaitu sebagai
teladan dan panutan bagi masyarakat, sebagai pemimpin, guru serta pembimbing,
sebagai pengajar/pelatih, baik dalam membuat perlengkapan reog maupun melatih
tari reog dan sebagai penggerak massa untuk aktif dalam kegiatan kemasyarakatan
sekaligus sebagai pengarah, penunjuk, dan pembimbing.
Berikutnya yang tak kalah menariknya perilaku ritual
kalangan warok Ponorogo ini adalah dengan menjalankan puasa, ritual puasa ini
berbeda dengan puasa pada umumnya atau puasa bagi umat Islam, puasa bagi
kalangan warok ini lebih ekstrim dan sangat berat bagi orang pada umumnya.
Namun bagi kalangan warok dengan keyakinan penuh mampu melakukan ritual ini.
Adapun
jenis-jenis puasa ritual warok bermacam-macam tergantung dari tujuan
yang
ingin dicapai. Ada 9 macam puasa bagi ritual warok :
1. Puasa
ngrowot, yaitu berpantang nasi, pantang makanan rasa manis, pedas dan asin.
2. Puasa
ngidang, yaitu hanya makan dedaunan saja
dengan tangan diikat di bambu kuning bila makan
harus menggunakan mulutnya, tidak boleh makan menggunakan tangan atau
kaki.
3. Puasa
mendhem, yaitu tinggal di dalam lubang tanah tidak boleh terkena sinar mata
hari atau sinar apa pun, seperti orang mengubur diri.
4. Puasa
pati geni, yaitu harus bertapa di dalam bilik, tidak boleh melihat api, tidak
boleh minum, tidak boleh makan, tidak boleh tidur sepanjang sehari semalam.
5. Puasa
mutih, hanya boleh makan nasi putih, tidak boleh disertai lauk pauk minum hanya
dengan air putih mulai tengah malam hingga malam hari berikutnya.
6. Puasa
ngalong, yaitu hanya boleh makan buah-buahan, semlam tidak boleh tidur mata
tidak boleh terpejam harus melotot seperti kalong.
7. Puasa
ngasrep, hanya boleh minum air putih dingin tanpa dicampuri apapun dan makan
makanan yang dingin.
8. Puasa
ngepel, yaitu boleh makan nasi dengan cara dikepeli sebanyak angka ganjil.
9. Puasa
ngebleng, tidak boleh makan minum jenis apapun tidak boleh tidur semalam penuh
kecuali akan terbit matahari tidak boleh keluar dari bilik meskipun untuk
keperluan berak dan kencing.
Puasa yang dilakukan warok ini masih dalam tataran
tindakan rasional yang berorientasi nilai, karena hampir semua perilaku ritual
warok ada kemiripan dengan proses beribadah orang-orang Islam, namun ada
perbedaan sedikit yaitu dengan tambahan-tambahan sikap dan perilaku serta
suasana saat berpuasa.
3.
Pantangan
yang harus dijauhi warok
Ada satu lagi perilaku ritual warok Ponorogo yang
tidak kalah uniknya yaitu berupa pantangan yang harus dihindari oleh para
warok. Setelah melakukan aktivitas-aktivitas diatas seorang warok harus mampu
meninggalkan pantangan yang apabila sampai dilanggar maka akan hilanglah daya
mistiknya. Adapun pantangan-pantangan yang harus ditinggalkan sama dengan
norma-norma Jawa dikenal dengan molimo yaitu
maling (mencuri), madat (candu), main
(berjudi), minum (minum-minuman keras/mabuk), madon
(mempermainkan wanita). Didalam kepercayaan warok ada anggapan bahwa wanita sebagai pantangan yang harus
dijauhi, sebab menurut mereka wanita mempunyai daya tarik yang mampu melemahkan
kekuatan batin dan daya mistik yang telah dimiliki, sehingga banyak diantara
mereka yang menunda masa perkawinannya hingga usia tua, sebagai gantinya mereka
memilih hidup dengan gemblak seorang laki-laki tampan dalam waktu yang
telah disepakati. Selain lima diatas ditambah dua macam lagi yaitu mateni
(membunuh) dan madani (seperti menipu menjelekkan orang lain). Jadi
menurut ajaran warok apabila manusia sudah bisa melaksanakan norma-norma yang
ditetapkan dia akan mencapai kesempurnaan hidup dan terjaga daya mistiknya.
Kesimpulan
Terdapat kemiripan antara wara’ dalam arti mistik
islam dengan warok Ponorogo, jika dalam literatur mistik islam wara’ merupakan
sikap terpuji disamping taubat, zuhud, tawakal, ridho, maka warok dalam istilah
budaya Ponorogo adalah sebuah nama yang sekaligus simbol dari kelas dan status
sosial yang tinggi di kalangan masyarakat. Untuk mempertahankan daya mistik di
kalangan warok Ponorogo mereka melakukan perilaku ritual yaitu dimulai dengan
penyucian diri, yaitu meliputi tiga hal yaitu kesucian suara, kesucian tenaga
dan kesucian rasa. Selain melakukan tiga aktivitas tersebut seorang warok juga
harus melakukan tirakat mengurangi makan untuk menyucikan wujud, mengurangi
tidur untuk menyucikan rasa, mencegah syahwat untuk menyucikan daya kekuatan.
Tahap berikutnya adalah berpuasa, ada sembilan puasa yang dilakukan yaitu puasa ngrowot, puasa ngidang, puasa mendhem,
puasa pati geni, puasa mutih, puasa ngalong, puasa ngasrep, puasa ngepel dan
puasa ngebleng. Untuk melengkapi perilaku warok maka harus pula meninggalkan
pantangan-pantangan yang harus dihindari adalah molimo ditambah dua macam sehingga ada tujuh macam
pantangan yaitu maling, madat, main, minum, madon, selain molimo diatas ditambah dua macam yaitu mateni dan madani.
DAFTAR RUJUKAN
Amal Taufiq. 2013. Perilaku Ritual Warok Ponorogo Dalam
Perspektif Teori Tindakan Max Weber. (online). III. hal 113-121. http://jsi.uinsby.ac.id/index.php/jsi/article/view/41.
Di akses pada 15 Desember 2015 jam 13.17 WIB
Dira Rahimsyah......Koentjaraningrat
- 3 Wujud dalam 7 Unsur Kebudayaan (online)....http://dirarahimsyah.blogspot.co.id/2013/03/koentjaraningrat-3-wujud-dalam-7-unsur.html.
Di akses pada 15 Desember 2015 jam 12.41 WIB
IB Wirawan, 2008
Sosiologi dalam Tiga Paradigma. Jakarta: Kencana Prenada Media Group
Kang Padjar.2010. Pewarisan Nilai Moral dan Budaya bagi Masyarakat di
KabupatenPonorogo.(online).....http://warokkini.blogspot.co.id/2010_08_01_archive.html.
Di akses pada 15 Desember 2015 jam
12.56 WIB
Koentjaraningrat. 1987. Sejarah Teori Antropologi I.
Jakarta: UI Press
Purnowijoyo, Babad Ponorogo
I Ponorogo Depdikbud
Tidak ada komentar:
Posting Komentar