Pages - Menu

Pages - Menu

Kamis, 12 Mei 2016

Nilai-nilai Tradisional dalam Perilaku Ritual Warok Ponorogo


Nilai-nilai Tradisional dalam Perilaku Ritual Warok Ponorogo

Oleh: Hermawan
_______________
* Penulis adalah mahasiswa PGSD FKIP Univesitas Jember, yang sedang menempuh mata kuliah Pendidikan Multikultural Kelas A. Korespondensi: Jl. Jawa II Nomor 12 Sumbersari, Jember, Jawa Timur. No. HP : 085736625501. Email: chelseahermawan@yahoo.co.id

ABSTRAK
Ada sebagian masyarakat  Ponorogo tepatnya kalangan warok yang sampai sekarang masih eksis dalam tradisi perilaku ritualnya dalam upaya untuk mempertahankan jati diri ketimuran sekaligus untuk mempertahankan daya mistik mereka. Munculnya perilaku ritual ini sebagai respon positif terhadap tantangan global yang semakin menggerus budaya lokal. Terdapat kemiripan  dalam terminologi antara warok Ponorogo dengan wara’ (literatur mistik islam), dalam istilah wara’ yaitu menjauhkan diri dari segala sesuatu yang mengandung sesuatu yang belum diketahui hukumnya, wara’ adalah status sosial bagi seorang yang menempuh jalan sufi, status tersebut secara berurutan yaitu taubat, wara, zuhud, tawakal, sabar, dan kerelaan, sedangkan warok dalam terminologi budaya Ponorogo adalah sebuah nama yang sekaligus simbol dari kelas dan status sosial yang tinggi di kalangan masyarakat, beberapa ajaran warok yang dijunjung tinggi disebut dengan sembilan kautaman. Untuk mempertahankan daya mistik warok pada tahap awal dimulai dengan mensucikan diri dengan tiga patrap (aktivitas) yaitu sucining suwara, sucining tenogo, dan sucining roso. Selajutnya setelah melakukan tiga patrap diatas tahap berikutnya adalah melakukan tirakat (usaha) dengan mengurangi makan, mengurangi tidur dan mencegah syahwat, bersamaan dengan usaha ini mereka juga harus meninggalkan sirikan (pantangan) yaitu molimo (maling, madat, main, minum, madon) dan ditambah dua macam yaitu madani dan mateni. Selanjutnya mereka harus melakukan puasa,  ada sembilan macam puasa di kalangan warok yaitu puasa ngrowot, puasa ngidang, puasa mendem, puasa pate geni, puasa mutih, puasa ngalong, puasa ngasrep, puasa ngepel, dan puasa ngebleng.
Kata kunci : Perilaku ritual, Warok 

ABSTRACT
There are some people among warok Ponorogo precisely that still exist in the tradition of ritual behavior in an attempt to maintain the identity of eastern as well as to maintain their mystique. The emergence of this ritual behavior as a positive response to the global challenges that increasingly erode local cultures. There are similarities in terminology between warok Ponorogo with wara’ (mystical literature of Islam), in terms of wara' that keep away from anything that contains something unknown law, wara' is a social status for the one who took the sufi path, that status sequentially namely repentance, wara, ascetic, trust, patience, and willingness, whereas in terms of culture warok Ponorogo is a name and a symbol of class and high social status in the community, some of the teachings upheld warok called nine kautaman. To maintain the mystique warok at an early stage begins with purify themselves with three patrap (activity) is sucining suwara, sucining tenogo, and sucining roso. Following that after three patrap on the next stage is to do penance (effort) by eating less, reducing sleep and prevent impotence, in conjunction with this effort they have to leave sirikan (abstinence) is molimo (maling, madat, main, minum, madon) and plus two kinds of madani and mateni. Furthermore, they should do fasting, there are nine kinds of fasting among warok namely ngrowot fasting, fasting ngidang, mendem fasting, fasting pate geni, mutih fasting, fasting ngalong, fasting ngasrep, ngepel fasting, and fasting ngebleng.
Keywords: Behavior ritual, Warok

Pendahuluan
Keragaman budaya yang dimiliki oleh bangsa Indonesia bukan hanya sebagai koleksi semata, namun merupakan hasil jerih payah dari ide, gagasan dan norma-norma dalam suatu kelompok masyarakat. Untuk memahami kebudayaan Indonesia menurut Koentjaraningrat (Sutarno 2008: 1.8) mengungkapkan bahwa kebudayaan meliputi tiga wujud yaitu wujud idiil (adat tata kelakuan) yang bersifat abstrak, wujud sistem sosial mengenai kelakuan berpola dari manusia itu sendiri, dan wujud kebudayaan fisik yang bersifat paling konkrit.
Seperti daerah yang lain, kabupaten Ponorogo memiliki budaya yang menjadi faktor dominan dalam kehidupan masyarakat. Adat istiadat dan norma yang ada di dalamnya merupakan suatu pedoman masyarakat dalam berinteraksi dengan sesamanya. Seiring dengan semakin berkembangnya era globalisasi yang tidak dapat terhindarkan lagi, maka ada sebagian masyarakat yang menyimpulkan bahwa salah satu cara untuk mempertahankan jati diri budaya ketimuran adalah dengan menggali nilai-nilai tradisional untuk dijadikan tiang penyangganya. Salah satu budaya tradisional masyarakat Ponorogo yang sampai sekarang masih eksis adalah adanya perilaku ritual warok. Munculnya perilaku ritual ini  sebagai respon positif terhadap tantangan kehidupan modern yang semakin lama semakin mengancam tradisi dan budaya lokal khususnya di kabupaten Ponorogo. Perilaku ritual yang dilaksanakan kalangan warok ini diwarnai oleh masih banyak ajaran-ajaran dari luar Islam walaupun juga terdapat praktek dzikir, wirid dan kontempelasi di dalamnya, karena setelah dilaksanakan babad Ponorogo pada tahun 1846 M oleh orang-orang Demak utusan Raden Patah di Ponorogo terjadi akulturasi budaya ajaran Hindu, Budha dan Islam.
Warok dalam istilah budaya Ponorogo memiliki arti sama dengan weruk yang artinya besar sekali. Besar disini memiliki arti kiasan bukan arti yang sebenarnya. Seseorang dapat disebut sebagai warok jika ia sudah besar sekali wibawanya dan besar sekali kedudukannya dalam masyarakat. Sebagaimana kerohanian Jawa pada umumnya, perilaku ritual warok Ponorogo merupakan pembauran dari berbagai unsur kebudayaan Hindu Budha dan Islam. Akan tetapi perilaku ritual warok ini menekankan aspek hidup yang ideal, unsur terpenting dari ajaran warok ini adalah konsep Mangeran Gesang yaitu hidup seperti Tuhan dalam skala kecil, karena menurut mereka pada dasarnya manusia ada karena adanya Tuhan Yang Maha Kuasa, ia akan Mangeran Gesang dan memiliki pengalaman-pengalaman batin dan kejadian yang luar biasa baik berupa daya kekuatan lahir (kadegdayan) maupun ketajaman mata batin (kawaskitan). Selanjutnya orang yang telah memiliki dua kesempatan ini berhak menyandang gelar warok, sehingga seorang tokoh yang telah disebut warok Ponorogo adalah orang yang harus benar-benar mampu diandalkan secara fisik maupun mentalnya.
Perilaku ritual warok masih banyak dilakukan baik oleh para pemuda maupun orang tua. Mereka bukan hanya putra-putra warok saja tetapi banyak yang datang dari luar kota Ponorogo. Pada umumnya mereka berguru di padepokan seseorang atau beberapa orang warok tua yang masih ada, sebab warok-warok muda belum merasa cukup umur untuk menjadi guru untuk mengajarkan ilmu yang mereka miliki. Di padepokan itu mereka tinggal mempelajari dan memparaktekkan perilaku ritual (tirakat) ajaran-ajaran mistik (lakon) mulai dari puasa, mati raga (zuhud) dan mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Kuasa untuk mencapai tingkatan Jumbuhing Kawula Gusti.
Berdasarkan latar belakang diatas maka dapat diambil suatu rumusan masalah yaitu apa sajakah nilai-nilai tradisional dalam ritual warok Pononorogo yang dapat untuk mempertahankan jati diri budaya Indonesia?

Pembahasan
1.      Profil Warok Ponorogo
Masyarakat Ponorogo seperti masyarakat lain di Indonesia yang memiliki karakter dan budaya lokal yang harus dipertahankan, salah satu ciri khas masyarakat Ponorogo adalah dengan budaya reog dan tokoh waroknya, jika seseorang mengenal tentang warok Ponorogo maka sebenarnya ia sudah mulai mengenal sebagian dari ciri khas Ponorogo, identitas warok biasanya hanya dikenal pada pakaian saja. Pakaian ini adalah pakaian khas dari Ponorogo. Dalam pengertian sehari-hari kata warok sama dengan weruk artinya besar sekali. Dalam literatur mistik Islam dikenal istilah wara’ yaitu menjauhkan diri dari segala sesuatu yang belum diketahui hukumnya yang menyebabkan seseorang terjerumus kepada sesuatu yang haram, wara’ adalah status sosial bagi seorang yang menempuh jalan mistik islam, status tersebut secara berurutan,  taubat, wara’, zuhud, tawakal, sabar, dan kerelaan.
Dalam istilah budaya Ponorogo warok dibedakan menjadi tiga, warok, warokan dan warok muda. Warok adalah seorang pemimpin yang membawahi warokan dan warok muda jadi warokan dan warok muda berada dibawah tingkat warok. Sedangkan warokan adalah terdiri dari pemuda-pemuda jagoan pada grup kesenian Reog, warokan menjadi pemain ganongan atau yang memainkan barongan.
Seseorang disebut warok jika sudah memiliki wibawa yang besar dan kedudukan yang tinggi dalam masyarakat. Warok disegani dan dihormati, gambaran nyata dari seorang warok adalah diwujudkan dalam bentuk perawakan besar, berkumis, berjanggut panjang. Pada pipi dan dada tumbuh bulu-bulu hitam, menurut kepercayaan, hitam mengandung makna keteguhan sedangkan lambang kesucian budi, ilmu dan tingkah laku berupa koloran dan usus-usus yang berwarna putih, panjang dan terurai ujungnya. Dari sini akhirnya didapat pengertian bahwa manusia itu perlu sekali dikuatkan dengan kesucian budi, ilmu dan tingkah laku.
2.      Perilaku Ritual Warok
Terkadang kita berfikir bahwa tindakan yang dilakukan orang  lain  tidak  masuk akal, ada yang tidak dapat kita mengerti bahkan cenderung aneh, namun pada hakikatnya suatu tindakan menjadi berarti apabila individu tersebut  menjelaskan alasan tentang bagaimana tindakan yang dilakukannya. Seharusnya kita harus memiliki kemampuan untuk berempati atau kemampuan untuk menempatkan diri dalam kerangka berpikir orang  lain  yang  perilakunya dijelaskan dan situasi serta tujuan-tujuan yang ingin dilihat menurut perspektif tersebut.
Jadi  kita  akan  bisa  memahami  perilaku  seseorang  termasuk  perilaku   dengan benar manakala  kita dapat berempati dan menempatkan kerangka pikir  kita seperti apa yang ada dalam pikiran mereka. Warok Ponorogo memiliki ritual  khusus ketika mereka hendak mempertahankan daya mistik mereka atau bagi warok-warok muda yang ingin mendalami ilmu, mereka harus melakukan  sembilan  macam keutamaan dilanjutkan dengan melakukan pensucian diri yang meliputi tiga hal yaitu kesucian suara, kesucian tenaga, dan kesucian rasa. Kesucian suara terletak pada manusia yang telah menguasai ilmu yang sempurna, ilmu yang sempurna adalah perkataan dan ucapan yang tidak meresahkan orang lain yang mendengar. Kesucian tenaga terletak pada manusia yang telah memeluk agama sempurna, yaitu jika amal perbuatannya tidak merugikan orang lain yang melihatnya. Kesucian rasa terdapat pada manusia yang telah menguasai pengetahuan yang sempurna, yaitu perasaan yang tidak menyakitkan perasaan orang lain.
Kriteria seseorang yang berstatus sebagai seorang warok dapat dikelompokkan menjadi dua. Pertama, warok memiliki tipologi dan profil, berpakaian khas Ponorogo (Penadon) dengan warna khas baju hitam celana hitam, beserta atribut-atribut sebagai pelengkapnya. warok mempunyai wibawa, disegani dan dihormati oleh masyarakat. Selain itu warok juga sebagai pemimpin sekaligus pemain barongan yang mengerti arti hidup dan kehidupan. Dilihat dari tataran ilmu, warok adalah figur yang kebak ilmu, artinya menguasai ilmu baik lahir maupun batin. Selain itu, warok juga memiliki ilmu kesaktian dan ilmu kekebalan badan. Kedua, jalan (lelaku) yang harus ditempuh seseorang untuk mencapai warok terlebih dahulu harus bisa memenuhi 9 (sembilan) syarat pokok, yaitu: berhati bersih dan berpikir positif, sopan santun, jujur, tidak berkata kotor dan berhati-hati, mengurangi keinginan nafsu, berjiwa perwira, adil, bijaksana dan tidak membeda-bedakan, suka menolong tanpa pamrih, sabar, tidak sombong.
Perilaku warok yang menggambarkan nilai-nilai moral di masyarakat antara lain diekspresikan dengan Hasta Brata (delapan laku kepemimpinan), bergaya hidup sederhana yang tidak memikirkan kepentingan duniawi dan selalu mengutamakan kepentingan masyarakat disamping kepentingannya sendiri. Selain itu warok selalu bersikap jujur, sopan santun dan berhati-hati dalam berucap dan bertingkah laku, berani membela kebenaran, tidak sombong, rendah hati, selalu berfikir jernih dan berani bertanggung jawab.
Peranan warok dalam mewariskan nilai moral dan budaya bagi masyarakat di kabupaten Ponorogo yaitu sebagai teladan dan panutan bagi masyarakat, sebagai pemimpin, guru serta pembimbing, sebagai pengajar/pelatih, baik dalam membuat perlengkapan reog maupun melatih tari reog dan sebagai penggerak massa untuk aktif dalam kegiatan kemasyarakatan sekaligus sebagai pengarah, penunjuk, dan pembimbing.
Berikutnya yang tak kalah menariknya perilaku ritual kalangan warok Ponorogo ini adalah dengan menjalankan puasa, ritual puasa ini berbeda dengan puasa pada umumnya atau puasa bagi umat Islam, puasa bagi kalangan warok ini lebih ekstrim dan sangat berat bagi orang pada umumnya. Namun bagi kalangan warok dengan keyakinan penuh mampu melakukan ritual ini.
Adapun jenis-jenis puasa ritual warok bermacam-macam tergantung dari tujuan
yang ingin dicapai. Ada 9 macam puasa bagi ritual warok :
1.    Puasa ngrowot, yaitu berpantang nasi, pantang makanan rasa manis, pedas dan asin.
2.    Puasa ngidang,  yaitu hanya makan dedaunan saja dengan tangan diikat di bambu kuning bila makan  harus menggunakan mulutnya, tidak boleh makan menggunakan tangan atau kaki.
3.    Puasa mendhem, yaitu tinggal di dalam lubang tanah tidak boleh terkena sinar mata hari atau sinar apa pun, seperti orang mengubur diri.
4.    Puasa pati geni, yaitu harus bertapa di dalam bilik, tidak boleh melihat api, tidak boleh minum, tidak boleh makan, tidak boleh tidur sepanjang sehari semalam.
5.    Puasa mutih, hanya boleh makan nasi putih, tidak boleh disertai lauk pauk minum hanya dengan air putih mulai tengah malam hingga malam hari berikutnya.
6.    Puasa ngalong, yaitu hanya boleh makan buah-buahan, semlam tidak boleh tidur mata tidak boleh terpejam harus melotot seperti kalong.
7.    Puasa ngasrep, hanya boleh minum air putih dingin tanpa dicampuri apapun dan makan makanan yang dingin.
8.    Puasa ngepel, yaitu boleh makan nasi dengan cara dikepeli sebanyak angka ganjil.
9.    Puasa ngebleng, tidak boleh makan minum jenis apapun tidak boleh tidur semalam penuh kecuali akan terbit matahari tidak boleh keluar dari bilik meskipun untuk keperluan berak dan kencing.
Puasa yang dilakukan warok ini masih dalam tataran tindakan rasional yang berorientasi nilai, karena hampir semua perilaku ritual warok ada kemiripan dengan proses beribadah orang-orang Islam, namun ada perbedaan sedikit yaitu dengan tambahan-tambahan sikap dan perilaku serta suasana saat berpuasa.


3.    Pantangan yang harus dijauhi warok
Ada satu lagi perilaku ritual warok Ponorogo yang tidak kalah uniknya yaitu berupa pantangan yang harus dihindari oleh para warok. Setelah melakukan aktivitas-aktivitas diatas seorang warok harus mampu meninggalkan pantangan yang apabila sampai dilanggar maka akan hilanglah daya mistiknya. Adapun pantangan-pantangan yang harus ditinggalkan sama dengan norma-norma Jawa dikenal dengan molimo yaitu  maling  (mencuri),  madat (candu),  main  (berjudi),  minum  (minum-minuman keras/mabuk), madon (mempermainkan wanita). Didalam kepercayaan warok ada anggapan  bahwa wanita sebagai pantangan yang harus dijauhi, sebab menurut mereka wanita mempunyai daya tarik yang mampu melemahkan kekuatan batin dan daya mistik yang telah dimiliki, sehingga banyak diantara mereka yang menunda masa perkawinannya hingga usia tua, sebagai gantinya mereka memilih hidup dengan  gemblak  seorang laki-laki tampan dalam waktu yang telah disepakati. Selain lima diatas ditambah dua macam lagi yaitu  mateni  (membunuh) dan madani (seperti menipu menjelekkan orang lain). Jadi menurut ajaran warok apabila manusia sudah bisa melaksanakan norma-norma yang ditetapkan dia akan mencapai kesempurnaan hidup dan terjaga daya mistiknya.
Kesimpulan
Terdapat kemiripan antara wara’ dalam arti mistik islam dengan warok Ponorogo, jika dalam literatur mistik islam wara’ merupakan sikap terpuji disamping taubat, zuhud, tawakal, ridho, maka warok dalam istilah budaya Ponorogo adalah sebuah nama yang sekaligus simbol dari kelas dan status sosial yang tinggi di kalangan masyarakat. Untuk mempertahankan daya mistik di kalangan warok Ponorogo mereka melakukan perilaku ritual yaitu dimulai dengan penyucian diri, yaitu meliputi tiga hal yaitu kesucian suara, kesucian tenaga dan kesucian rasa. Selain melakukan tiga aktivitas tersebut seorang warok juga harus melakukan tirakat mengurangi makan untuk menyucikan wujud, mengurangi tidur untuk menyucikan rasa, mencegah syahwat untuk menyucikan daya kekuatan. Tahap berikutnya adalah berpuasa, ada sembilan puasa yang dilakukan yaitu  puasa ngrowot, puasa ngidang, puasa mendhem, puasa pati geni, puasa mutih, puasa ngalong, puasa ngasrep, puasa ngepel dan puasa ngebleng. Untuk melengkapi perilaku warok maka harus pula meninggalkan pantangan-pantangan yang harus dihindari adalah molimo  ditambah dua macam sehingga ada tujuh macam pantangan yaitu maling, madat, main, minum, madon,  selain molimo diatas ditambah dua macam yaitu  mateni dan madani.





























DAFTAR RUJUKAN

Amal Taufiq. 2013. Perilaku Ritual Warok Ponorogo Dalam Perspektif Teori Tindakan Max Weber. (online). III. hal 113-121. http://jsi.uinsby.ac.id/index.php/jsi/article/view/41. Di akses pada 15 Desember 2015 jam 13.17 WIB

Dira Rahimsyah......Koentjaraningrat - 3 Wujud dalam 7 Unsur Kebudayaan (online)....http://dirarahimsyah.blogspot.co.id/2013/03/koentjaraningrat-3-wujud-dalam-7-unsur.html. Di akses pada 15 Desember 2015 jam 12.41 WIB

IB Wirawan, 2008 Sosiologi dalam Tiga Paradigma. Jakarta: Kencana Prenada Media Group

Kang Padjar.2010. Pewarisan Nilai Moral dan Budaya bagi Masyarakat di KabupatenPonorogo.(online).....http://warokkini.blogspot.co.id/2010_08_01_archive.html. Di akses pada 15 Desember 2015 jam 12.56 WIB

Koentjaraningrat. 1987. Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta: UI Press
Purnowijoyo, Babad Ponorogo I  Ponorogo Depdikbud

Sutarno. 2008. Pendidikan Multikultural. Jakarta: Direktorat jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional.

http://http://hermawan12345.blogspot.co.id/label/Materi Kuliah/http://http://hermawan12345.blogspot.co.id/label/Materi Kuliah/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar