Pemerolehan
bahasa anak melibatkan dua keterampilan, yaitu kemampuan untuk menghasilkan
tuturan secara spontan dan kemampuan memahami tuturan orang lain. Jika
dikaitkan dengan hal itu, maka yang dimaksud dengan pemerolehan bahasa adalah
proses pemilikan kemampuan berbahasa, baik berupa pemahaman atau pun
pengungkapan, secara alami, tanpa melalui kegiatan pembelajaran formal.
Penguasaan bahasa tidak disadari dan tidak dipengaruhi oleh pengajaran yang
secara eksplisit tentang sistem kaidah yang ada di dalam bahasa kedua. Berbeda
dengan proses pembelajaran, adalah proses yang dilakukan secara sengaja atau
secara sadar dilakukan oleh pembelajar di dalam menguasai bahasa.
Karakteristik
pemerolehan bahasa adalah:
1. berlangsung
dalam situasi informal, anak-anak belajar bahasa tanpa beban, dan di luar
sekolah;
2. pemilikan
bahasa tidak melalui pembelajaran formal di lembagalembaga pendidikan seperti
sekolah atau kursus
3. dilakukan
tanpa sadar atau secara spontan
4. dialami
langsung oleh anak dan terjadi dalam konteks berbahasa yang bermakna bagi anak.
Strategi
Pemerolehan Bahasa Anak
Landasan
atau dasar kognitif pemerolehan bahasa terlihat dalam tiga hal, yaitu:
(1)
perkembangan semantik sang anak,
(2)
perkembangan sintaksis permulaan, dan
(3)
penggunaan aktif sang anak akan sejenis siasat belajar.
Anak
memperoleh kemampuan berbahasa lisan melalui peniruan, pengalaman langsung, mengingat, bermain,
dan penyederhanaan.
Ada
dua persyaratan dasar yang memungkinkan anak dapat memperoleh kemampuan berbahasa,
yaitu potensi faktor biologis yang dimiliki sang anak, serta dukungan sosial
yang diperolehnya.
Faktor-faktor
apakah yang mempengaruhi pemerolehan bahasa anak.
(a) faktor biologis;
(b) faktor lingkungan sosial;
(c) faktor intelegensi; dan
(d) faktor motivasi
Kebutuhan
utama anak-anak sehingga belajar berbahasa adalah:
(a)
keinginan untuk memperoleh informasi tentang lingkungannya
(b)
memberi perintah dan menyatakan kemauan
(c)
pergaulan sosial dengan orang lain
(d)
menyatakan pendapat dan ide-idenya.
Pemerolehan
bahasa anak itu tidaklah tiba-tiba atau sekaligus, tetapi bertahap. Kemajuan
kemampuan berbahasa mereka berjalan seiring dengan perkembangan fisik, mental,
intelektual, dan sosialnya. Oleh karena itu, perkembangan bahasa anak ditandai
oleh keseimbangan dinamis atau suatu rangkaian kesatuan yang bergerak dari
bunyi-bunyi atau ucapan yang sederhana menuju tuturan yang lebih kompleks.
Tangisan, bunyi-bunyi atau ucapan yang sederhana tak bermakna, dan celotehan
bayi merupakan jembatan yang memfasilitasi alur perkembangan bahasa anak menuju
kemampuan berbahasa yang lebih sempurna. Bagi anak, celoteh merupakan semacam
latihan untuk menguasai gerak artikulatoris (alat ucap) yang lama kelamaan
dikaitkan
dengan
kebermaknaan bentuk bunyi yang diujarkannya.
Tahap-tahap
Perkembangan Bahasa Anak
Tahapan
perkembangan bahasa anak dapat dibagi atas:
1.
Tahap Pralingustik (0 – 12 bulan)
Sebelum
mampu mengucapkan suatu kata, bayi mulai memperoleh bahasa ketika berumur
kurang dari satu tahun. Namun pada tahap ini, bunyi bahasa yang dihasilkan anak
belumlah bermakna. Bunyi-bunyi itu berupa vokal atau konsonan tertentu tetapi
tidak mengacu pada kata atau makna
tertentu.
Bahkan pada awalnya, bayi hanya mampu mengeluarkan suara yaitu tangisan. Pada
umumnya orang mengatakan bahwa bila bayi yang baru lahir menangis, menandakan
bahwa bayi tersebut merasa lapar, takut, atau bosan.
Sebenarnya
tidak hanya itu saja terjadi. Para peneliti perkembangan mengatakan bahwa
lingkungan memberikan mereka halangan tentang apa yang dirasakan oleh bayi,
bahkan tangisan itu sudah mempunyai nilai komunikatif. Bayi yang berusia 4 – 7
bulan biasanya sudah mulai menghasilkan banyak suara baru yang menyebabkan masa
ini disebut masa ekspansi). Suara-suara baru itu meliputi: bisikan, menggeram,
dan memekik. Setelah memasuki usia 7 – 12 bulan, ocehan bayi meningkat pesat.
Sebagian bayi mulai mengucapkan suku kata dan menggandakan rangkaian kata
seperti “dadada” atau “mamama”. Ini dikenal dengan masa connical.
2.
Tahap Satu-Kata (12 – 18 bulan)
Pada
masa ini, anak sudah mulai belajar menggunakan satu kata yang memiliki arti
yang mewakili keseluruhan idenya. Satu-kata mewakili satu atau bahkan lebih
frase atau kalimat.
Contoh:
Ujaran
anak Maksud
-
“Juju!” (sambil memegang baju)
-
“Bum-bum” (sambil menunjuk motor
- Mau memakai baju atau Ini baju saya
-
Itu motor atau saya mau naik motor
Kata-kata
pertama yang lazim diucapkan berhubungan dengan objek nyata atau perbuatan.
Kata-kata yang sering diucapkan orang tua sewaktu mengajak bayinya berbicara
berpotensi lebih besar menjadi kata pertama yang diucapkan si bayi. Selain itu,
kata tersebut mudah bagi dia. Misalnya kata “papa” itu kan konsonan
bilabial yang mudah diucapkan. Selain itu, kata-kata tersebut mengandung fonem
“a” yang secara artikulasi juga mudah diucapkan (tinggal membuka mulut
saja). Memahami makna kata yang diucapkan anak pada masa ini tidaklah mudah.
Untuk menafsirkan maksud tuturan anak harus diperhatikan aktivitas anak itu dan
unsur-unsur non-linguistik lainnya seperti gerak isyarat, ekspresi, dan benda
yang ditunjuk si anak. Ada dua penyebab, yaitu sebagai berikut.
Pertama,
bahasa anak masih terbatas sehingga belum memungkinkan mengekspresikan ide atau
perasaannya secara lengkap. Keterbatasan berbahasanya diganti dengan ekspresi
muka, gerak tubuh, atau unsur-unsur nonverbal lainnya.
Kedua,
apa yang diucapkan anak adalah sesuatu yang paling menarik perhatiannya saja.
Sehingga, tampa mengerti konteks ucapan anak, kita akan kesulitan untuk
memahami maksud tuturannya. Walaupun memahami makna kata yang diucapkan anak
pada masa ini tidaklah mudah, tetapi komunikasi aktif dengan si anak sangat
penting dilakukan. Untuk dapat berbicara, anak perlu mengetahui perbendaharaan
kata yang akan disimpan di otaknya dan ini bisa didapat ketika orang tua
mengajak bicara. Kalau anak jaran diajak berbicara, kata-kata yang dia dapat
sangat minim sehingga penguasaan kosa kata anak juga sangat minim. Selain itu,
yang perlu diperhatikan dalam menghadapi anak yang memasuki usia ini adalah
“jangan memakai bahasa bayi untuk anak-anak, melainkan dengan orang dewasa.”
Maksudnya, ucapkanlah dengan bahasa yang seharusnya didengar sehingga si anak
juga terpacu untuk berkomunikasi dengan baik.
3.
Tahap dua-kata (18 – 24 bulan)
Pada
masa ini, kebanyakan anak sudah mulai mencapai tahap kombinasi dua kata.
Kata-kata yang diucapkan ketika masih tahap satu kata dikombinasikan dalam
ucapan-ucapan pendek tanpa kata penunjuk, kata depan, atau bentuk-bentuk lain
yang sseharusnya digunakan.
Anak
mulai dapat mengucapkan “Ma, pelgi”, maksudnya “Mama, saya mau pergi”.
Pada tahap
dua
kata ini anak mulai mengenal berbagai makna kata tetapi belum dapat menggunakan
bentuk bahasa yang menunjukkan jumlah, jenis kelamin, dan waktu terjadinya
peristiwa. Selain itu, anak belum dapat menggunkan pronomina saya, aku, kamu,
dia, mereka, dan sebagainya.
4.
Tahap banyak-kata (3 – 5 tahun)
Pada
saat anak mencapai usia 3 tahun, anak semakin kaya dengan perbendaharaan
kosakata. Mereka sudah mulai mampu membuat kalimat pertanyaan, penyataan
negatif, kalimat majemuk, dan berbagai bentuk kalimat. Terkait dengan itu,
Tompkins dan Hoskisson dalam Tarigan dkk. (1998) menyatakan bahwa pada usia 3 –
4 tahun, tuturan anak mulai lebih panjang dan tatabahasanya lebih teratur. Dia
tidak lagi menggunakan hanya dua kata, tetapi tiga atau lebih. Pada umur 5 – 6
tahun, bahasa anak telah menyerupai bahasa orang dewasa. Sebagian besar aturan
gramatika telah dikuasainya dan pola bahasa serta panjang tuturannya semakin
bervariasi. Anak telah mampu menggunkan bahasa dalam berbagai cara untuk
berbagai keperluan, termasuk
bercanda atau
menghibur.
0 komentar:
Posting Komentar